“Sebuah negara ditentukan oleh baik dan buruknya
seorang wanita, jika wanitanya baik maka baik pulalah negara itu, tapi
sebaliknya jika wanitanya rusak maka rusak pulalah negeri itu.” Itulah
sebuah ungkapan yang bisa sedikit memberi gambaran tentang apa yang kemungkinan
terjadi di negara, lingkungan,. maupun keluarga kita sendiri.
Indahnya membayangkan
terlahirnya generasi-generasi unggulan di sekitar kita, generasi-generasi yang
dididik dengan kebenaran cahaya Islam. Generasi-generasi militan yang tersebar
tangguh dan siap menjadi pemimpin perjuangan Islam di masa depan. Generasi yang
selalu memberikan perubahan positif di setiap lingkungan yang ditempati.
Generasi unggul memerlukan
pendidikan yang unggul pula, Artikel ini saya dapatkan semoga bermanfaat untuk
kebaikan siapa saja yang menginginkan pendidikan unggulan untuk buah hati
generasi unggulan di masa mendatang. Pendidikan yang bermula dengan diajarkan
akan hakekat keimanan dan diajarkan pula tentang Al-Quran kemudian dididik
akhlaqulkarimah agar kelak menginjak dewasa ia mampu menjadi generasi
yang berlaku jujur dan bersifat amanah, tidak menjadi pembohong dan pendusta.
Pendidikan
seperti inilah yang ditanamkan oleh Rasulullah semenjak kecil yang terrefleksi
dalam sabdanya: “Dari Abu Hurairoh r.a. Rasulullah Saw
bersabda: ” Barang siapa yang berkata kepada anaknya kesinilah akan kuberikan
sesuatu kemudian, kemudian dia tidak memberikan maka dia dusta”.
Iqbal
pernah berkata: “Betapa banyak wanita-wanita desa yang tidak mampu membaca dan
menulis mampu melahirkan mujahid-mujahid agung yang mengukir sejarah di pentas
dunia.”
Betapa
indahnya dunia ini, jika kaum wanita mengerti hakekat dirinya, sebagai seorang
hamba Allah yang sholehah yang dari tangannya dan belaian kasih sayangnya mampu
melahirkan generasi-generasi robbani yang mereka tidak takut akan celaan orang
yang mencela. Dan dari kasih sayangnya lahirlah manusia-manusia pijar yang siap
mengemban amanat dakwah walau orang-orang bodoh selalu mencelanya, tetapi
dengan segala ketawadlu’annya ia hadapi dan terima celaan itu dengan senyuman
sambil mengucapkan nada dan kalimat keselamatan bagi mereka.
Saat ini dunia menangis
melihat dekadensi moral yang merajalela, penyakit-penyakit berbahaya
bermunculan bagai benih yang ditabur di musim penghujan. Tiada hari yang kita
lewati dan saksikan kecuali diiringi perasaan pilu yang menyayat hati.
Berita-berita sedih mengenaskan menghiasi surat kabar-surat kabar. Jauh diujung
sana terdengar pekikan dan jeritan wanita ditindas tanpa mampu berbuat apa-apa,
wanita-wanita tidak sungkan lagi membuka perhiasannya yang mestinya hanya
pantas diperlihatkan kepada suaminya, anak-anak tidak pernah lagi merasakan
belaian kasih sayang ibunya, sejak mereka lahir air susu yang diminumnya telah
diganti dengan susu sapi dan kerbau.
Perasaan cinta yang
diikat dengan benang keimanan hambar tiada terasa karena peran seorang ibu yang
Allah ciptakan perasaan cinta dan rindu akan tangisan bayi telah di ganti
peranannya oleh baby sister. Adakah dari wanita seperti dapat di harapkan mampu
melahirkan manusia-manusia pijar yang berakhlaqulkarimah? Tentulah tidak!
Bagaimana mungkin wanita yang tidak bermoral, tidak mengerti akan tanggungjawab
dan kewajiban seorang hamba dan dalam dirinya tidak di temukan setitik
keimananpun mampu mengukir dunia deengan kasih sayang dan perasaan cinta yang
di milikinya?
Wanita muslimah bukanlah
orang yang cinta pada dunia dan bukan pula orang yang uzlah dari dunia. tapi
mereka adalah orang yang mampu mengimbangkan antara hak dan kewajiban, antara
tanggung jawab dan peraasaan pribadi. Mereka adalah orang yang lebih
mementingkan akhirat, karena mereka tahu dan yakin bahwa dunia hanya sekedar
jalan untuk mencapai predikat yang tinggi yaitu MARDHOTILLAH ”
Bercermin dari
istri-istri generasi pertama Islam dan salafussholeh dalam mendidik putra-putra
mereka dan tanggung jawab terhadap suami dan keluarga, adalah suatu cerminan
yang harus dicermini oleh wanita-wanita muslimah, karena putra-putra merekalah
yang membanngun dunia ini saat posisi dunia tidak ada kestabilan dan
keseimbangan.
Seorang muslimah yang
tahu tanggungjawwab, sebagai ratu dalam rumah tangganya dan menjadi ibu bagi
anak-anaknya serta sebagai istri yang sholehah dari suaminya, tentu akan lebih
memprioritaskan rumahtangganya di banding tugas-tugas lainnya. Dia didik anak
semenjak kecil dia belai dengan kasih sayang dan cinta, ia susui anaknya dengan
kelemahlembutan yang dimilikinya, karena dia tahu air susunya adalah sumber
kehidupan bagi anaknya, dia tahu air susunya lebih jernih di banding air susu
buatan pabrik.Tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah terjalinnya
hubungan batin antara ibu dan anak, yang jalinan itu mampu menumbuhkan cinta
dan rindu diantara mereka.
Sejak anaknya mulai
tumbuh dan berkembang, dia perhatikan kesehatan badannya agar jangan sampai
sakit, ia jaga pendidikan anaknya dengan di bekali iman dan taqwa agar jangan
sampai terjerumus kelembah maksiat, karena dia tahu tarbiyah imaniyah dan
ta’limulquran harus lebih di dahulukan daripada yang lainnya.Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw : Artinya : “Dari Jundub binAbdullah berkata: Kami bersama Nabi
Saw dan bersama kami dua anak laki-laki yang menginjak dewasa diajarkan kepada
kami iman sebelum kami belajar Al-Quran kemudian diajarkan Al-Quran untuk
menambah keimanan”.
Setelah
anaknya dididik dan diajarkan akan hakekat keimanan dan diajarkan pula tenteng
Al-Quran barulah dididik akhlaqulkarimah agar kelak menginjak dewasa ia mampu
berlaku jujur dan bersifat amanah, tidak menjadi pembohong dan pendusta.
Pendidikan seperti inilah yang ditanamkan oleh Rasulullah SAW semenjak kecil
yang terrefleksi dalam sabdanya: Artinya : “Dari Abu Hurairoh r.a. Rasulullah
Saw bersabda: ” Barang diapa yang berkata kepada anaknya kesinilah, akan
kuberikan sesuatu kemudian, kemudian dia tidak memberikan maka dia dusta”.
Dalam hadist yang lain di sebutkan: Artinya :
“Dari Abdillah bin Mas’ud r.a. Rasulullah Saw bersabda: ” Hendaklah kalian
jangan berbuat bohong karena kebohongan tidak di perkenankan di dalam
kesungguhan dan tidak dalam bergurau, dan janganlah kamu memanggil anak kecil
kemudian tidak menepati janji kepadanya”.
Jika
anak sejak kecil, di tanamkan sifat jujur dan keikhlassan maka dalam
perjalanannya akan tampillah menjadi orang yang sederhana, teguh memegang
prinsip, tidak tergoyahkan oleh kepalsuan dan berita-berita fasiq yang datang
silih berganti serta segenap rayuan syetan yang menggoda.
Ketika
keimanan telah menancap dalam jiwa anak di iringi dengan keikhlasan, kejujuran,
ketabahan dan kesabaran tumbuhlah ia dalam ketenangan dan kejernihan hati serta
keluasan cakkrawala berfikir yang kemudian kelak mampu menjadi penopang
hidupnya saat ia mengembara menelusuri dunia ini. Modal telah di miliki nya,
kebesaran Allah telah manjelma dalam jiwanya, hatinya telah dicuci dan disirami
oleh ibunya dengan kalam samawi dengan untaian kata dan kalimat berupa nasehat
yang mengalir dari bibirnya yang tiada pernah lepas dari berzikir kepada Allah
Azza wa Jalla.
Wanita-wanita inilah yang
mampu merubah wajah dunia kemudian menghiasinya dengan akhlaq-akhlaq mulia
melalui anak yang dilahirkannya. Dalam kelembutan tangannya tersimpan segala
rahasia dan keagungan. Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada wanita
muslimah sifat lemah lembut dan kasih sayang serta kesabaran dalam menderita.
Dengan kelembutannya ini mampu meredakan amarah suaminya saat suaminya dilanda
nafsu amarah yang berkobar-kobar, kemarahan yang bisa membawa malapetaka bagi
rumah tangga jika sang istri tidak mampu mengendalikan emosi, dengan kasih
sarang yang didasari perasaan cinta, sang istri mampu manenangkan suaminya,
saat suaminya mengalami konflik batin. Bukankah itu telah di contohkan Khodijah
r.a. empat tokoh wanita terbaik yang pernah hadir dalam pentas sejarah dunia
sekaligus istri Rasulullah Saw.
Kisah keagungan wanita
yang tersimpan rapi dalam hazanah Islam dan tidak akan pernah terlupakan oleh
zaman dan waktu. Di awali saat kepulangan Rasulullah Saw di kala beliau pertama
kali menerima wahyu di gua Hira’ ketika suasana hati Rasulullah di landa
kekalutan dan kekacauan beliau datang menemui Khodijah seraya berkata“Selimutilah
aku, selimutilah aku, dengan kasih sayang Khodijah menyelimuti suaminya hingga
hilang rasa takutnya . Kemudian Rasulullah Saw bertanya :” Wahai Khodijah apa
yang terjadi atas diriku? di ceritakannya sebuah kabar kepada Khodijah sambil berkata:”
Aku takut suatu hal akan menimpa diriku”. Dengan kelembutannya khotijah
berrkata: Janganlah takut namun bergembiralah. Demi Allah, tidak mungkin Allah
akan menghinakanmu. Demi Allah engkau adalah orang yang selalu menyambung tali
persaudaraan, engkau selalu berkata benar, engkau selalu membbantu mereka yang
membutuhkan dan memuliakan tamu serta engkaulah yang selalu menolong orang yang
kena musibah”.
Khodijah seorang wanita
yang dianugrahi kelebihan dan kebesaran. Saat suaminya di timpa musibah, ia
ikut merasakan penderitaan suaminya, dibesarkan hatinya dengan segala kebaikan
yangdilakukannya agar mampu menenangkan hati sang suami. Kebesaran wanita
inilah yang di gambarkan Ibnu Hisyam dalam sirohnya:” Sesungguhnya Khodijah
adalah orang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasulullah, serta
membenarkan semua yang datang dari Allah. Dialah yang selalu membantu
Rasulullah dalam menjalankan urusannnya dan membenarkan risalahnya di saat
orang lain mendustakannya. Maka Allah meringankan Rasulullah dengan adanya
Khodijah. Rasulullah tak pernah mendapatkan dari diri Khadijah sesuatu yang
dibencinya saat orang lain menolak dakwahnya dan mendustakan dirinya, yang hal
ini akan menambah diri Rasulullah sedih, kecuali Allah menghilangkan
penderitaannya saat beliau kembali ke Khodijah. Dikuatkkan hati Rasulullah,
diringankan penderitaannya, dibenarkan seluruh ucapannya dan di bantunya
Rasulullah dalam menjalankan urusannya dengan manusia.
Dan
bukankah hal itu pula yang telah di contohkan oleh Ummu Salamah, saat kematian
anak yang di cintainya, sedangkan Abu Tholhah sedang bepergian. dia berpesan
kepada keluarganya jangan engkau ceritakan kepada Abu Tholhah akan kematian
anaknya sampai saya sendiri yang akan menceritakannya. Ketika suaminya pulang,
Ummu Salamah menyambut suaminya dengan mesra, diajaknya suaminya makan bersama
dia percantik dirinya dengan tutur bahasa yang indah dan manis. Ketika di lihat
suaminya tenang dan kenyang dengan lemah lembut Ummu Salamah bertanya: ” Wahai
Aba Tholhah bagaimanakah pendapatmu jika ada suatu kaum menitipkan kepada
ahlubaitmu barang, kemudian mereka meminta kembali titipannya, adakah kamu
melarangnya?. Abu Tholhah menjawab: ” Tentu tidak”. Kemudian Ummu Salama
berkata: ” Begitu pula yang terjadi dan menimpa anakmu”.
Harapan
dan cita-cita kiranya wanita muslimah saat ini mampu mencontoh mereka,
bagaimana kebesran jiwa dan ketabahan mereka dalam menderita, serta keikhlasan
mereka dalam berjuang mengemban amanat da’wah yang dipikulkan di atas
pundak-pundak mereka, dan mewariskan itu semua kepada generasi penerus.
Medan
dakwah semakin luas, pendidikan yang di terima kaum muslimih saat ini dari
perguruan-perguruan tinggi hendaklah mampu dijadikan modal dasar utuk melangkah
agar dalam perjalanan mencari ilmu yang di dapatkan tidak terbuang percuma.
Mengakhiri
tulisan ini adalah suatu harapan dan cita-cita apabila kita mampu memilih dan
meniti perjalanan Rasul, Shohabat dan Salafus Sholeh yang telah mangajarkan
kepada kita, tentang hakekat hidup dalam mencapai cita-cita yang luhur
sebagaimana keluhuran mereka dalam beramal, berfikir, bertindak dan melangkah
untuk sampai kepada kalimat pendek tetapi mencakup hidup dan mati kita ”
Rodhiallahuanhum wa rodhuanhu”, jika hal itu bisa kita dapatkan dengan usaha
yang maksimal. Maka tidak ada artinya tajamnya mata pedang, siksaan, pengusiran
dan segunung rintangan, semua itu akan dihadapi dengan senyum kemenangan walau
terkadang harus mati di tiang gantungan.
Wanita
muslimah saat ini dituntut untuk mampu melahirkan generasi seperti itu. Adalah
harapan kita semua jika dari rahim-rahim wanita muslimah lahir
generasi-generasi Rabbani dan Ghuroba’yang telah ditanamkan dalam jiwa mereka
tentang keimanan, ketaqwaan serta sifat ihsan agar mampu memikul tanggung jawab
yang semakkin berat, yang saat ini tidak mampu dipikul oleh orang tua – orang
tua mereka semacam ini, kita serahkan semuanya Allah Swt Sebagai Pemegang
tampuk kekuasaan yang tiada batasnya. Kepada-Nya kiranya diserahkan apa yang
ada pada diri kita, kepunyaan-Nyalah apa yang kita miliki, dan apa yang kita
miliki hanya sekedar titipan dan amanat dari-Nya, Allah Swt.
diambil dari peranan ummahat dalam tarbiyah jailul munfarid http://www.arrahmah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar